Dipicu oleh semakin memanasnya kondisi perekonomian global dan semakin ketatnya persaingan di dunia usaha, menyebabkan peta pemasaran di Indonesia mengalami sedikit pergeseran dari pasar rasional ke emosional lalu ke spiritual.
Jika pada pasar rasional konsumen membeli barang dan jasa dengan pertimbangan rasional dan secara umum, dalam artian merekalah yang sangat peka dan sensitif terhadap perbedaan harga, varitas produk, bonafiditas lembaga dan juga kualitas layanan.
Sedangkan pasar emosional lebih memfokuskan diri pada pertimbangan emosi seperti prestis dan citra diri. Pada pasar spiritual, konsumen mempertimbangkan nilai halal dan haram. Saat ini pasar syari`ah di Indonesia menunjukkan tanda-tanda ke arah perkembangan yang begitu pesat.
Seperti yang telah kita ketahui bersama dan bahkan sudah menjadi rahasia umum, beberapa lembaga dan perusahaan berbondong-bondong mengkonversi produknya menjadi berbasis syari`ah.
Di antara lembaga-lembaga atau perusahaan tersebut yang menggunakan syari`ah sebagai background-nya adalah lembaga yang berorientasi dan hanya fokus pada hal-hal yang sifatnya umum seperti inovasi, efisiensi, servis dan respon sibilitas terhadap para pelanggannya.
Padahal ada hal yang lebih utama dari beberapa hal di atas. Banyak korporat yang mengabaikan hal ini. Suatu proses marketing yang utuh harus memperhitungkan unsur transendental ini. Meskipun marketer telah mampu membuat senyum para pelanggannya tetapi dengan tindakannya yang telah membuat murka Tuhan, ia telah memasarkan dengan gagal. Jika saja ia telah mampu membuat sebagian pelanggannya puas akan tetapi ia telah melakukan sumpah palsu atas nama Tuhan, ia pun telah memasarkan dengan gagal. Yang terpenting dalam lanskap dunia marketing dan bisnis adalah spiritual-self management.
Di sinilah tantangan terbesar yang dihadapi perusahaan-perusahaan ber-background syari`ah dalam mengimplementasikan konsep pemasarannya yang tidak hanya mencakup produknya saja yang berbasis syari`ah. Akan tetapi juga meliputi sikap dari para marketernya. Yaitu, spiritual self-management. Dan hal ini tidak berlaku untuk para marketer saja, para pelaku di dunia usaha apapun pasti membutuhkannya.
Sederhananya perusahaan berbasis syari`ah tidak hanya menjual dan memasarkan produk-produk yang halal dan baik tetapi juga merupakan suatu proses bisnis yang keseluruhan prosesnya menerapkan nilai-nilai Islam. Suatu cara bagaimana memasarkan suatu proses bisnis yang mengedepankan nilai-nilai yang mengagungkan nilai-nilai keadilan dan kejujuran dari para pelaku dunia usaha.
Pada umumnya perjalanan karir seseorang, basic-nya ada pada aspek spiritual.Hal tersebut menunjukkan, kecerdasan spiritual semakin tak terelakkan dalam kesuksesan. Spiritual self-management merupakan konsep yang bertolak dari suara hati untuk membawa nilai-nilai spiritualitas dalam hal berkiprah di bidang ekonomi, utamanya dalam konteks pemasaran yang lebih bermakna dan berkelanjutan.
Faktor spiritual merupakan kunci terakhir yang harus dimiliki seorang pemimpin dalam suatu perusahaan untuk memajukan bisnisnya dan para pemasar untuk menarik pelanggan. Karena kebanyakan konsumen tidak membeli produk tetapi membeli kepercayaan yang ada dalam merk dan hati pemasar. Maka dari itu aspek spiritual self-management mutlak harus dimiliki oleh para pelaku dunia usaha.
Adapun indikator utama dari spiritual self-management adalah kejujuran, keadilan, keterbukaan, keikhlasan dan kepedulian terhadap sesama. Dewasa ini etika bisnis sering kali hanya menjadi retorika di bibir belaka. Karena pemimpin perusahaan bertindak tidak etis dalam relasinya dengan para pegawai, pelanggan, pemegang saham dan publik secara luas.
Dengan adanya konsep spiritual self-management diharapkan kita selalu berupaya mengagungkan nilai-nilai agama dalam implementasinya di dunia bisnis. Sehingga nantinya bukan hanya prinsip pengelolaan usaha secara sehat yang dikenal dengan Good Corporate Governance saja yang dapat dicapai melainkan juga prinsip God Corporate Governance juga dapat dicapai.
oleh : Achmad Machfud
Research Manager IMA S.C. Undip 2007/2008
Jika pada pasar rasional konsumen membeli barang dan jasa dengan pertimbangan rasional dan secara umum, dalam artian merekalah yang sangat peka dan sensitif terhadap perbedaan harga, varitas produk, bonafiditas lembaga dan juga kualitas layanan.
Sedangkan pasar emosional lebih memfokuskan diri pada pertimbangan emosi seperti prestis dan citra diri. Pada pasar spiritual, konsumen mempertimbangkan nilai halal dan haram. Saat ini pasar syari`ah di Indonesia menunjukkan tanda-tanda ke arah perkembangan yang begitu pesat.
Seperti yang telah kita ketahui bersama dan bahkan sudah menjadi rahasia umum, beberapa lembaga dan perusahaan berbondong-bondong mengkonversi produknya menjadi berbasis syari`ah.
Di antara lembaga-lembaga atau perusahaan tersebut yang menggunakan syari`ah sebagai background-nya adalah lembaga yang berorientasi dan hanya fokus pada hal-hal yang sifatnya umum seperti inovasi, efisiensi, servis dan respon sibilitas terhadap para pelanggannya.
Padahal ada hal yang lebih utama dari beberapa hal di atas. Banyak korporat yang mengabaikan hal ini. Suatu proses marketing yang utuh harus memperhitungkan unsur transendental ini. Meskipun marketer telah mampu membuat senyum para pelanggannya tetapi dengan tindakannya yang telah membuat murka Tuhan, ia telah memasarkan dengan gagal. Jika saja ia telah mampu membuat sebagian pelanggannya puas akan tetapi ia telah melakukan sumpah palsu atas nama Tuhan, ia pun telah memasarkan dengan gagal. Yang terpenting dalam lanskap dunia marketing dan bisnis adalah spiritual-self management.
Di sinilah tantangan terbesar yang dihadapi perusahaan-perusahaan ber-background syari`ah dalam mengimplementasikan konsep pemasarannya yang tidak hanya mencakup produknya saja yang berbasis syari`ah. Akan tetapi juga meliputi sikap dari para marketernya. Yaitu, spiritual self-management. Dan hal ini tidak berlaku untuk para marketer saja, para pelaku di dunia usaha apapun pasti membutuhkannya.
Sederhananya perusahaan berbasis syari`ah tidak hanya menjual dan memasarkan produk-produk yang halal dan baik tetapi juga merupakan suatu proses bisnis yang keseluruhan prosesnya menerapkan nilai-nilai Islam. Suatu cara bagaimana memasarkan suatu proses bisnis yang mengedepankan nilai-nilai yang mengagungkan nilai-nilai keadilan dan kejujuran dari para pelaku dunia usaha.
Pada umumnya perjalanan karir seseorang, basic-nya ada pada aspek spiritual.Hal tersebut menunjukkan, kecerdasan spiritual semakin tak terelakkan dalam kesuksesan. Spiritual self-management merupakan konsep yang bertolak dari suara hati untuk membawa nilai-nilai spiritualitas dalam hal berkiprah di bidang ekonomi, utamanya dalam konteks pemasaran yang lebih bermakna dan berkelanjutan.
Faktor spiritual merupakan kunci terakhir yang harus dimiliki seorang pemimpin dalam suatu perusahaan untuk memajukan bisnisnya dan para pemasar untuk menarik pelanggan. Karena kebanyakan konsumen tidak membeli produk tetapi membeli kepercayaan yang ada dalam merk dan hati pemasar. Maka dari itu aspek spiritual self-management mutlak harus dimiliki oleh para pelaku dunia usaha.
Adapun indikator utama dari spiritual self-management adalah kejujuran, keadilan, keterbukaan, keikhlasan dan kepedulian terhadap sesama. Dewasa ini etika bisnis sering kali hanya menjadi retorika di bibir belaka. Karena pemimpin perusahaan bertindak tidak etis dalam relasinya dengan para pegawai, pelanggan, pemegang saham dan publik secara luas.
Dengan adanya konsep spiritual self-management diharapkan kita selalu berupaya mengagungkan nilai-nilai agama dalam implementasinya di dunia bisnis. Sehingga nantinya bukan hanya prinsip pengelolaan usaha secara sehat yang dikenal dengan Good Corporate Governance saja yang dapat dicapai melainkan juga prinsip God Corporate Governance juga dapat dicapai.
oleh : Achmad Machfud
Research Manager IMA S.C. Undip 2007/2008
No comments:
Post a Comment