Marketing, Bukan Sekedar Jualan


KETIKA – pertama kali saya membuka buku Principles of Marketing-nya Kotler yang terbayang adalah “wah, jualan nih…”. Selling, itu satu-satunya yang kami pahami tentang marketing. Tetapi sebetulnya marketing jauh melebihi sekedar selling, atau sering kita sebut sales atau jualan itu tadi. Perlahan, saya memahami bahwa proses saya cemberut untuk merayu ayah saya agar dibelikan piano sudah merupakan langkah marketing penting. Saya lancarkan berbagai usaha persuasif untuk meyakinkan mereka bahwa piano itu akan berguna untuk hidup saya, membuat saya menjadi lebih kreatif dan cerdas (saya sampai bela-belain beli buku piano klasik tingkat dasar untuk saya senandungkan tiap malam). Cara saya manjur, dan….sebuah piano Yamaha pun bertengger dengan indahnya di ruang tamu kami.

Cara dan metode marketing telah digunakan dalam semua aspek kehidupan. Hampir dipastikan bahwa setiap aspek kehidupan tidak terlepas dari aktivis marketing: mulai dari iklan yang kita lihat di TV, bentuk botol yang unik, penataan rak di supermarket yang kreatif, papan reklame di jalan, mencoba mencicipi donat terkenal, sampai ke hal-hal yang menyangkut komunikasi dan persuasi. Saat ini pun marketing bukan lagi dominasi perusahaan laba dan produksi, melainkan juga dimanfaatkan oleh semua bentuk usaha atau institusi nirlaba seperti museum, gereja, masjid, rumah sakit, galeri seni, dll.

Saya seringkali mencontohkan bagaimana pergeseran marketing menjadikannya sebuah aktivitas penting dalam sebuah pertukaran. Ketika seseorang membuka usaha rumah tangga kripik tempe “Krenyus” misalnya, yang dia pikirkan bukan lagi tentang bagaimana menjual produk saya sebanyak-banyaknya (product oriented) tetapi bagaimana agar produk ini mampu memuaskan kebutuhan dan keinginan pelanggan, bagaimana produk ini menjadi pilihan utama para penggemar kripik tempe di Indonesia (consumers oriented). Kita tidak lagi berpikir tentang bagaimana agar kripik tempe kita cepat laku, tapi juga tahu pasti kenapa, untuk apa, dan bagaimana konsumen kita mengkonsumsi produk yang kita jual. Menurut Robin Landa (2001) dan Chris Fill (2002), inilah yang disebut dengan pemahaman tentang konsumen (consumers insight) sebagai tambahan atas apa yang Kotler telah ungkapkan di bukunya tentang product insight. Keduanya bersama – sama akan memicu pemahaman terhadap komunikasi (communication insight) yang akan digunakan dalam aktivitas promosi. Oleh karenanya, agar tempe kripik “Krenyus” bisa bersaing di pasar, punya keunikan jual (unique selling proposition) maka si penjual membubuhkan berbagai variasi rasa barbeque, chocolate chips, kari, steak lada hitam, asam pedas, keju, bawang, pizza, sambel goring, dll. Kemasan yang standar pun terasa berbeda karena isi yang ditawarkan tidak ada duanya.

Gampang kan ? Sekilas memang gampang, namun kejelian membidik pasar seperti si penemu tempe kripik aneka rasa “Krenyus” di atas hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang peka sosial. Orientasi konsumen didefinisikan sebagai kecukupan pemahaman dari suatu perusahaan akan target audience mereka dalam rangka terus menerus menciptakan keunggulan nilai yang relatif lebih tinggi dibanding pesaing (Narver & Slater, 1990). Menyenangkan konsumen bukanlah hal yang mudah, karena untuk itu kita harus berpikir outward looking. Mengapa seseorang memilih brand tertentu? Karena dia memiliki masalah yang hanya dapat dipecahkan oleh brang tersebut. Permen emut anti kantuk. Kalaulah ada tentu banyak mahasiswa yang akan memburunya sampai ke ujung dunia, karena mereka harus melawan godaan kantuk saat belajar, membuat tugas, bosen ngapelin pacar, sampai menunggu bis atau kereta untuk pulang ke kampong halaman.

Persaingan pasar yang semakin ketat tidak lagi mampu diatasi hanya dengan sekedar menjadikan sebuah produk “beda”, melainkan bahwa dalam perbedaan itu ada ruh yang menjadikan sebuah produk tidak tergantikan oleh yang lain. Membanjirnya produk dan jasa menjadikan konsumen memiliki pilihan luas tak terbatas. Marketing lah yang kemudian harus bertugas untuk mengenali dan kemudian mendandani produk tersebut agar benar-benar tepat untuk target audience yang tepat. Riuhnya teriakan promosi menambah pengap suasana persaingan. Semua ramai-ramai berteriak “iklan TV”, “iklan surat kabar”, “baliho super besar”, “balon udara super ngejreng”. Pendeknya semua berteriak “IKLAN”. Ini adalah penanda kedua yang harus diubah saat mendengar kata marketing. Marketing = iklan. Lho ?

Selain product, price, dan place (jalur disribusi), promotion adalah titik berat aktivitas marketing yang menjadikan cabang ilmu ini dikenal sebagai promosi atau sales itu. Marketing = sales, Marketing = Promosi, Marketing = iklan; sepertinya menjadi rumus penting dalam memahami marketing yang sudah telanjur salah kaprah. Sebagai bentuk hubungan yang relasional, marketing tidak bisa lagi dipandang sebagai proses pertukaran. Ada sebuah kesatuan yang saling mendukung antar tiap komponen dalam 4P yang terkenal itu. Bahwa pemahaman tentang produk akan membawa kita pada penentuan harga tertentu, harga kemudian digunakan untuk menentukan jalur distribusi (pasar tradisional, jaringan ritel raksasa, warung pinggir jalan, dll), sedangkan pemahaman tentang ketiganya akan memberikan rekomendasi perencanaan aktivitas promosi.

Dalam era modern, yang masyarakatnya sangat sulit untuk loyal pada salah satu brand (karena banyaknya pilihan) pemasar harus tentukan dengan siapa kita ngomong, gimana caranya. Contohnya, mau nembak Dewi. Kutu buku nan ayu. Hobinya ke perpus melulu dan tak suka diganggu. Pikirkan bagaiman mengemas rayuanmu untuk menembak Dewi. Ini sebuah proses marketing lho, marketing diri sendiri. Produknya “I love you”, pricenya adalah “seluruh hidupmu”, placenya…nah ini yang membutuhkan pemahaman konsumen (consumer insight) yang telah kita singgung di atas, promosinya…ini juga butuh consumer insight, selain product insight. Meski Dewi sama cantiknya dengan Lara, ada perbedaan mendasar yang membutat keduanya tidak bisa ditembak dengan cara yang sama. Lara adalah penyiar radio yang gaul, easy going, party lovers, outgoing, fun, tidak canggung, hangat. Tembak dengan cara modern, saat dia ada di café kegemaran tentunya akan sangat berkesan. Tapi Dewi? Hobinya baca bow…kemana kita akan ‘memasarkan’ cinta kita? Perpus? Kost-kostannya? Toko buku? Bedah buku Harry Potter (apa iya dia suka fiksi? Mungkin roman dektektifnya S. Mara GD?) atau malah bedah bukunya Djenar Maesa Ayu? Mungkinkah Dewi seorang feminis? Wah, masih segudang yang bisa membuat Dewi berbeda dari Lara.

Pemahaman tentang Dewi dan lokasi favoritnya akan memunculkan rekomendasi pemilihan alat promosi yang tepat. Mungkin bukan iklan, tapi public relations yang didukung oleh kegiatan berupa event dan promosi penjualan. Susah? Bingung? Untuk saat ini mungkin sedikit bingung, tapi jika kita mencoba untuk melakukannya pada teman sekampus, anda akan bisa lihat jawabannya. Pahamkah/kenalkah.akrabkah anda dengan teman sebangku (atau teman yang selalu duduk bersebelahan)?

Saat kita telah memilih sebuah brand, maka saat itulah hubungan yang terus menerus akan terjadi antara pemilik brand dengan konsumen. Relational marketing, yang mengandalkan hubungan jangka panjang berbasis pemahaman (understanding), kepercayaan (trust), dan ketergantungan (dependency) akan tercipta. Sehingga dari sini, kita sudah mendapatkan gambaran jelas, bahwa marketing adalah sebuah kerja berat yang mengasyikkan. Bukan sekedar jualan, tetapi juga perencanaan, penguasaan situasi dan pemilihan aktivitas promosi yang tepat. Mudah? Memang, asalkan kita selalu jeli membaca gejala yang muncul dan peluang yang tersedi. Be a Smart marketer!***.

Dyah Pitaloka, MA
Pengajar IMC, Komunikasi Strategis dan Periklanan
Jurusan Ilmu Komunikasi - FISIP UNDIP
CEO Playon Creadtive

No comments:

Post a Comment

Instagram