AFTA dan Marketing? Apa hubungannya?



AFTA dan Marketing? Apa Hubungannya?

Oleh : Gesti Nopelia A

Haloo! Salam marketing! Sudah menginjak bulan Desember dan tahun 2014 sudah hampir habis. Menginjak ke tahun 2015, ada banyak isu yang harus dihadapi bangsa ini, salah satunya adalah AFTA. Apa itu AFTA? AFTA adalah singkatan dari ASEAN Free Trading Area, dibentuk di Singapura pada tahun 1992 dengan maksud merencanakan perdagangan bebas melaui KTT. Singkatnya semua negara di kawasan regional ASEAN bisa melakukan perdagangan secara bebas.

Tentu saja hal ini menjadi peluang besar bagi kita, bangsa Indonesia tentunya, untuk berkarya dan berkarir sebebas-bebasnya karena peluang kita tak hanya di dalam negeri saja, tetapi sudah mencakup kawasan ASEAN. Berikut ini saya mengutip sebuah artikel, tentang hal-hal apa saja yang harus dibenahi dalam menghadapi AFTA :

Korupsi

Berdasarkan catatan Lembaga Transparency Internasional (TI), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih rendah. Skor IPK pada tahun 2013 berada di angka 32. Indonesia terpuruk di posisi 114 dari 177 negara. Sebagai bandingan dengan negara anggota ASEAN, Singapura dengan IPK tertinggi (86), kemudian Brunei Darussalam (60), Malaysia (50), Philipina (36), dan Thailand (35). Dengan demikian Indonesia hanya sedikit di atas negara Vietnam (31), Timor Leste (30), Laos (26), Myanmar (21), dan Kamboja (20).
Data diatas menunjukkan dengan jelas bahwa kualitas penanganan korupsi standarnya berbeda di setiap negara. Semestinya Indonesia tak perlu malu belajar dari metode dan tegasnya Singapura dalam memberantas korupsi. Di negeri singa, kejahatan korupsi ditindak dengan sungguh-sungguh, dan memiliki lembaga anti korupsi yang benar-benar independen. Bahkan diperkuat dukungan oleh komitmen politik dari pimpinan negara.
Bandingkan dengan Indonesia, meski kita sudah punya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun KPK tak pernah berhenti diserang untuk dicopoti segala kewenangannya, terutama dari konsolidasi partai politik, yang kadernya banyak terbukti melakukan korupsi.

 Iklim Investasi

Iklim investasi di Indonesia tidak berkembang karena kendala birokrasi dan lemahya aspek yuridis dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaian dengan investasi .
Dalam kendala birokrasi karena tak jelasnya kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tumpang tindih. Ini kemudian diperparah keterbatasan jumlah birokrat yang memiliki kompentensi dan professional dalam pelayanannya. Hal ini karena proses rekrutmen, terutama di daerah banyak melanggar prinsip-prinsip administrasi publik.
Dalam aspek yuridis formil, Beberapa peraturan yang berkaitan dengan birokrasi dalam pelayanan investasi perlu diamandemen. Sebut saja Undang-undan Perusahaan Terbatas (UUPT), Undang-Undang Investasi (UUI), Undang-Undang Pertanahan, Undang-Undang Pasar Modal (UUPM), Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Undang-undang tersebut diterapkan tidak konsisten, bersifat sentralistik, tumpang tindih antara satu dengan yang lainnya yang tertera di pasal-pasal yang mengaturnya. Keberadaan UU tersebut selama ini sangat menghambat reformasi birokrasi, yang memfokuskan pada perubahan pola pikir dan budaya birokrasi yang sehat. Tidak lagi menerapkan birokrasi warisan orde baru yang sarat pelanggaran dalam melayani masyarakat.

Penegakan Hukum

Praktek mafia peradilan yang selama ini terjadi di dunia peradilan, seperti tertangkapnya para Hakim, Jaksa ,dan Polisi, menunjukkan bahwa reformasi peradilan harus terus menjadi fokus Indonesia.
Indonesia mesti mempersiapkan diri dengan baik dan serius dalam rangka menyambut AFTA 2015. Beberapa pilar sistem peradilan yang harus terus direformasi secara serius adalah Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan, dan Kepolisian.

Reformasi peradilan (Judicial Reform) mutlak dilakukan oleh masing-masing negara ASEAN. Reformasi peradilan sangat penting karena, pertama, pengadilan sangat mendukung pemerintahan dengan membangun rule of law dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi. Kedua, pengadilan juga berperan penting dalam membuat negara sebagai otoritas menjadi accountable terhadap aturan-aturan yang berlaku secara demokratis dan menjamin perlindungan hak-hak asasi manusia sebagaimana telah ditetapkan konstitusi, konvensi dan perundang-undangan.
Hal ini sangat vital karena sangat terkait dengan tuntutan adanya kepastian hukum dalam kerjasama ekonomi antar negara di ASEAN.

Tenaga Kerja Kurang Terampil

Diberlakukannya AFTA pada tahun 2015, artinya tidak ada lagi pasar kerja domestik, tapi yang ada adalah pasar kerja internasional. Kita harus bersaing dengan tenaga kerja asing untuk memperebutkan lapangan kerja yang ada di dalam negeri sekali pun.

Sejatinya Indonesia menjadi pasar tenaga kerja potensial melihat jumlah penduduk yang sangat melimpah. Sayangnya tidak dibarengi dengan keterampilan yang memadai.

Salah satu sebabnya adalah produk pendidikan Indonesia saat ini kurang relevan dengan kebutuhan pasar kerja di masa depan. Pendidikan Indonesia lebih mengarah kepada pendidikan akademis daripada pendidikan vokasional yang menghasilkan tenaga kerja terampil. Kondisi ini kontras dengan negara maju seperti Jepang, Australia, dimana pendidikan vokasional jauh lebih banyak dibandingkan dengan pendidikan akademik.

Inilah yang mengakibatkan banyak sarjana Perguruan Tinggi (PT) kita tidak menguasai aspek keahlian yang diharapkan oleh lapangan kerja. Selain itu program keahlian selalu dianggap program sekunder dari program akademik, sehingga kualitas peserta didik seringkali tidak memenuhi persyaratan minimal yang diperlukan bagi pendidikan keahliannya.
Agar semakin tak tertindas persaingan, perlu rekonstruksi terhadap dunia pendidikan kita agar misi mencetak manusia Indonesia yang kompetitif di era globalisasi bisa tercapai. Pemerintah mesti terus menambah porsi pendidikan kejuruan yang fokus pada pelatihan kerja atau pengalaman kerja. Pengakuan terhadap lulusan pendidikan kejuruan juga perlu didorong kepada perusahaan, bahkan pemerintah ketika berlangsung proses rekrutmen tenaga kerja/PNS. Saat ini proses rekrutmen tenaga kerja masih banyak berdasarkan ijazah yang dimiliki dan bukan kompetensi.

Tingkat Pendidikan Yang Tidak Merata

Hingga kini, dunia pendidikan Indonesia memiliki kendala yang sangat serius pada keterbatasan akses, jumlah guru yang belum merata, serta kualitas guru itu sendiri yang masih kurang.
Untuk menghadapi AFTA, pemerintah mesti meningkatkan pemerataan dan kualitas pendidikan. Akses pendidikan harus dibuka seluas-luasnya untuk seluruh masyarakat. Pendidikan Indonesia harus bisa dijangkau oleh semua lapisan masyarakat, bahkan hingga tingkat Perguruan Tinggi.

Pemerintah juga mesti mendistribusikan guru-guru kompeten di daerah-daerah supaya merata. Caranya mungkin bekerja sama dengan pemerintah daerah. Kemudian dalam hal meningkatkan kualifikasi guru, Kemendikbud mesti terus memberikan fasilitas beasiswa. Guru yang sesuai dengan kualifikasi saat ini masih belum merata. Banyak sekolah dasar dan menengah di daerhaa kekurangan tenaga guru. Menurut data Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud, jumlahnya diperkirakan 112 ribu guru.

Di Pendidikan Tinggi juga sangat jomplang. Saat ini terdapat 3.500 PT di seluruh Indonesia, namun lebih separuh berada di pulau Jawa. Di luar pulau Jawa, banyak PT berjalan tidak sehat. Dalam mengatasi ini, pemerintah mesti melakukan redistribusi pendidikan secepatnya, sehingga orang-orang tak perlu urbanisasi ke kota besar demi mendaptkan pendidikan yang layak (Sumber :http//:www. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2014/03/29/5-hal-yang-mesti-dibenahi-menghadapi-afta-2015-643243.html)

Dari artikel di atas, ada 5 hal yang harus dibenahi bangsa ini untuk mampu bersaing dengan negara lain dalam AFTA. Pertanyaannya mampukah kita? Memang banyak kesenjangan yang ada di negara ini, kesenjangan pendidikan, pendapatan, masih banyaknya KKN dan masalah-masalah lain. Yang terpenting untuk merubah ini semua dimulai dari kita sendiri, sadarkan diri kita bahwa mau tidak mau kita harus siap menghadapi AFTA, teruslah berkarya dan tetap mengasah kemampuan SDM yang kita miliki.

Lalu apa hubungan AFTA dengan marketing? AFTA memberikan kebebasan dalam hal perdagangan. Perdagangan dalam konteks ini tentu melibatkan perusahaan dalam menciptakan produk, dan melibatkan SDM dalam ketenagakerjaan secara global. Perusahaan akan sangat diuntungkan dengan adanya AFTA, karena dapat memberikan peluang produknya dikenal secara global, namun negatifnya produk perusahaan dalam negeri akan bersaing ketat dengan produk buatan negara tetangga yang biasanya lebih unggul. Disinilah peran marketing dimulai, bagaimana marketing mampu melihat segmen pasar, kemudian menentukan target pasarnya dan terakhir menciptakan posisitioning product pada konsumen. Kesuksesan peran marketing dalam perusahaan akan membawa dampak positif dan meningkatkan laba perusahaan.
Selain itu, peran marketing dalam SDM/Ketenagakerjaan adalah tentang bagaimana SDM tersebut mampu me-market-kan dirinya sendiri dalam bersaing secara global. Market SDM adalah seberapa besar kompetensi yang ia miliki dalam bidang pekerjaannya, profesionalitas SDM, kemampuan bahasa asing dan soft-skill yang dimilki.


No comments:

Post a Comment

Instagram